Perjuangan
Sebuah Kamera
Malam
ini adalah malam yang tidak biasa dari malam sebelumnya. Lampu kota masih setia
menerangi kota Solo. Kini jalan Slamet Riyadi sudah dipenuhi puluhan penonton.
Sepertinya mereka sudah tahu kalau malam ini malam penampilan Solo Batik
Carnival V (SBC V).
Dengan
bangganya aku juga ikut andil dalam event yang diadakan kota Solo ini. Aku
seorang diri menerobos masuk ditengah-tengah keramaiannya penonton. Sebuah kamera
dslr aku kalungkan dileher. “Inilah saatnya aku menunjukkan aksi jepretanku
selama ini”, gumamku dalam hati sambil menekan tombol shoot dan memfokuskan
objek.
Peserta
SBC melenggang dengan kostumnya yang menawan. Corak batik dengan tema yang
berbeda-beda menambah semaraknya malam sabtu itu. Para fotografer tidak kalah
semangat untuk mengabadikan moment SBC.
“Maaf,
maaf…” kata yang bisa aku ucapkan saat bersenggolan dengan orang lain.
Banyaknya orang terpaksa membuatku berdesak-desakan. Tetapi hal itu tidaklah
masalah karena aku tertarik mengikuti kompetisi foto SBC yang sudah diumumkan
seminggu sebelum SBC tampil. Untuk itu aku datang lumayan awal dan sudah
mempersiapakan kamera dslr canon milikku.
“Tiiin…
tiiin…” klakson motor polisi yang mengkondisikan jalanan supaya penonton tidak
terlalu ke tengah karena akan dilewati peserta SBC. Tetapi penonton tetap
bersikeras memenuhi tengah jalan saking semangatnya. Terutama saat kostum batik
bermotif putih tampil ke jalan.
“Wah,
banyak fotografer nih yang datang malam ini” ucapku dalam hati dan membuat
sedikit pesimis dengan saingan lain. Jepretan demi jepretan belum juga
kutemukan objek yang tepat untuk dikirim kompetisi. fotografer lain yang lebih
berpengalaman dengan santainya membidik objek-objek yang dinilainya memiliki
nilai seni tersendiri. Sedangkan aku masih pemula mengenai dunia foto-memfoto
yang butuh keahlian khusus.
Saat
iringan peserta SBC bermotif hijau senyum diwajahku mengembang seraya berkata “
Mungkin ini objek yang cocok dengan konsep foto yang akan aku bidik”.
“Clap”
blitz kameraku sudah merekam objek
yang kupilih tadi. Saat yang bersamaan kesialan menimpaku karena berjubel
dengan banyak orang. “Bruk” kameraku jatuh dan pecah dijalan. Dengan hati sedih
dan kesal rasanya ingin marah, aku hanya bisa meneteskan air mata lalu kuusap
lagi. Tak ingin orang lain melihat dengan tampang berbelas kasihan kepadaku.
Ditengah kerumunan penonton aku punguti pecahan kamera dan meratapinya seperti
impianku sudah pudar untuk menunjukan kepada orang tua hasil jepretanku.
Akhirnya
aku pulang dengan kamera remukku. Dalam perjalanan aku masih bingung apa yang
harus aku katakana kepada orang tua dengan nasib yang kualami sekarang.
Sebenarnya orang tua setengah mengizinkan jika aku berkecimpung dengan kamera
apalagi jadi seorang fotografer.
Setibanya
dirumah ada rasa takut menyelimutiku. Kuketuk pintu dan dibukakan oleh ibu
dengan tampang agak kesal. “Apa lagi yang kamu perbuat dengan kameramu Ray?”
Tanya ibuku dengan kasar.
“Maaf
bu jika kameraku sudah tidak seperti semula” jawabku pelan dan merasa bersalah.
Kutunjukkan kamera yang hancur tadi dihadapan ayah dan ibuku.
“Seperti
ini kamu akan jadi fotografer, merawat kamera saja tidak bisa!” ibuku membentak
dan membuatku tertekan. “Sebaiknya kamu berhenti mengurusi kamera yang
membuatmu semakin bertingkah aneh” usul ayahku yang ikutan kesal. Aku masih
terdiam melihat canonku yang talinya masih menggantung.
* * *
Pagi
harinya masih kulihat kamera rusak itu diatas meja belajar. Kupegang lagi dan
kubongkar bagian dalam kamera. Ternyata kartu memorinya masih utuh menempel
dilubang tempatnya. “Alhamdulillah memori cardnya utuh” lirihku sambil
tersenyum bersyukur kepada Allah. Setelah itu hatiku menjadi lebih tenang.
Masih ada secercah harapan untuk mengikuti kompetisi foto SBC.
Walaupun
begitu masih ada keraguan tentang kartu memorinya. Kutekan tombol on laptop
didepanku untuk memastikan apakah kartu memorinya bisa terdeteksi di komputer.
Proses booting selesai kumasukkan kartu memori dilubang laptop. Lamanya
menunggu ternyata komputer tidak bisa mendeteksi kartu memori. Meskipun bisa
dibuka yang muncul hanyalah foto dengan gambar error dan itu tandanya kartu
memori terkena virus.
“Duh
malah kena virus lagi” gerutuku dan kesal dengan semua ini. Musibahku belum
cukup sampai disini. Tanganku dengan kesal mengotak-atik komputer agar kartu
memori kembali seperti semula. Tetapi usaha itu masih belum membuahkan hasil.
“Apalagi derita yang akan aku hadapi” keluhanku yang kesekian kalinya.
*
* *
Dua hari berlalu dan virus itu masih
menyerang kartu memori. Usahaku berkonsultasi masih belum cukup untuk membasmi
virus yang cukup ganas tersebut. Tetapi untuk hari ini mungkin keberuntungan
sedang berpihak kepadaku. Saat mengotak-atik lagi entah kenapa foto-foto
bidikanku bisa muncul dan bisa dibuka. Aku berfikir ini adalah virus pokki yang hanya bertahan dua hari
didalam benda yang terinfeksi. “Dasar virus pokki
menyengsarakan!” umpatku kemudian. Tetapi Allah masih berbaik hati padaku dan
aku berterima kasih untuk itu.
“You
can count on me like one two three…” suara khas lagu Bruno Mars kuputar
sambil mencari objek foto yang akan kukirimkan untuk lomba. Objek SBC bermotif
hijau siap kukirim tanpa editan apapun karena itu termasuk ketentuan lomba.
Sekitar pukul satu siang aku menuju
ke lokasi lomba untuk menyerahkan foto jepretanku kepada panitia. Sedikit iri
dan kurang percaya diri melihat karya-karya peserta lain yang begitu bagus. Aku
tetap harus optimis dan bertekad bisa memenangi kompetisi foto tersebut. Akan
aku tunjukkan kepada kedua orang tuaku bahwa aku bisa menjalani dunia fotografi
dan memotret bukanlah sesuatu yang biasa.
Aku masih menunggu hasil pengumuman
kompetisi tiga hari lagi karena hari sebelum pengumuman foto-foto peserta akan
dipajang dipameran. “Ya Allah semoga usahaku ini tidak sia-sia dan membuahkan
hasil” do’aku dalam hati.
Do’a selalu aku panjatkan saat hari
pengumuman pemenang. Hadiahnya akan diserahkan secara simbolis oleh Bapak
Walikota di Stadion Sriwedari tempat SBC pernah digelar. Detik-detik pembacaan
pemenang kompetisi foto hatiku semakin tegang. Juara tiga dan dua sudah
dibacakan dan saatnya giliran juara pertama untuk mengetahui siapa pemenangnya.
“Dan juara satu diraih oleh saudara
Raynald Prasetya dengan judul foto Batikku keberuntunganku” ucap panitia sambil
mempersilahkan pemenang untuk maju ke depan. Betapa senangnya diriku saat itu
dan bersyukur sekali dengan karunia yang diberikan oleh Allah. Sebelumnya aku
masih ragu dengan hasil ini karena peserta lain menggunakan mode seperti till-shift, DEP, aperture value dan
lainnya yang lebih professional. Sedangkan aku hanya menggunakan mode shutter priority untuk Canon 350D yang
termasuk kamera bagi pemula.
Hadiahnya langsung aku bawa pulang
dan kutunjukkan kepada orang tua bahwa aku bisa menjadi Ray seorang fotografer
seperti yang aku inginkan. “Ibu… ayah… Ray bisa menangin lomba” teriakku sambil
berlari menemui mereka. “Ini piala dan uang hadiah dari lomba fotografi” ucapku
dan kutunjukkan kepada mereka.
“Ray selamat atas usaha kamu selama
ini, ayah bangga memiliki anak seperti dirimu” sanjungan ayah yang memperkuat
cita-citaku. “Selamat Ray, walau ayah dan ibu melarang tetapi tidak menyurutkan
pendirian kamu akan dunia fotografi, ibu salut denganmu Ray” kata ibu seraya
memeluk tubuhku. Akhirnya kedua orang tuaku setuju jika aku menggeluti bidang
pemotretan.
“Ray kamera siapa yang kamu bawa?”
Tanya ibu penasaran sambil menunjuk kamera yang berada ditangan kananku. Dengan
santainya kujawab pertanyaan ibu “Ini hadiah juga dari kompetisi foto yaitu
sebuah kamera dslr canon 400D yang lebih professional daripada milikku yang
sudah remuk” sambil tertawa renyah.
“Dasar Raynald” canda ibuku. Semenjak
itu hobi hunting foto bisa terlaksana dengan izin orang tua. Aku tambah gemar
mencari objek dengan shoot dari sudut yang berbeda-beda. Menambah pengalaman
dari dunia fotografi aku tingkatkan supaya cita-cita menjadi fotografer handal
tercapai.
by : Salma Durroh Salsabilati
XII IPA 4 / 2012
saduRR's writting
0 comments:
Posting Komentar
Give your comments in my blog. Thanks